Dipaksa Rajapaksa, Sri Lanka Stop Sawit

  Oleh : Suarariau.co
   : info@suarariau.co
  2021-04-21 09:58:50 WIB
*Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) *Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)

Oleh:

Tofan Mahdi

Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)

SuaraRiau.co - Negara miskin di Asia Tengah, Sri Lanka, mencoba berulah. Meski bukan pasar ekspor besar bagi komoditas sawit Indonesia, Sri Lanka meniru langkah Uni Eropa. Melarang impor minyak sawit dengan alasan isu deforestasi dan lingkungan lainnya. Tentu saja, Indonesia bergeming dengan gertakan sambal Srilanka ini.

Industri minyak sawit sebagai penyumbang devisa ekspor terbesar nasional terus mendapat batu sandungan. Bukan hanya dari negara-negar Barat seperti Amerika Serikat, negara anggota Uni Eropa, atau Australia, Negara Dunia Ketiga seperti Sri Lanka pun ikut-ikutan menolak penggunaan minyak sawit di negara mereka. Meski tidak signifikan mempengaruhi bisnis minyak sawit Indonesia, namun sikap Srilanka ini patut disesalkan. 

Paksaan Rajapaksa

Sri Lanka sebetulnya bukan pemain baru dalam industri minyak sawit dunia.  Beberapa perusahaan Sri Lanka telah menanamkan investasinya dalam bisnis perkebunan kelapa sawit baik di Indonesia maupun Malaysia. Dan di Sri Lanka sendiri, pengembangan perkebunan dan industri minyak juga tampak mulai bergairah. 

Mengutip kantor berita Reuters, nilai
impor minyak sawit dan jumlah perkebunan minyak sawit baru terus meningkat di Sri Lanka. Saat ini, volume impor minyak sawit Sri Lanka mencapai 200 ribu ton dan sebagian besar berasal dari Indonesia. Gairah pengembangan minyak sawit di Sri Lanka ini bisa dimaklumi, mengingat minyak sawit adalah minyak nabati yang sangat dibutuhkan dunia dan saat ini telah memegang pangsa pasar terbesar dalam pasar minyak nabati dunia. Selain Indonesia dan Malaysia, beberapa negara lain juga telah mengembangkan industri dan perkebunan minyak sawit seperti Kolombia, Thailand, Kamboja, Liberia, dan Sri Lanka.

Karena kalah bersaing dengan minyak sawit, produsen minyak nabati non sawit seperti minyak soya, bunga matahari, biji rapa, dan kanola, berusaha menyerang daya saing sawit. Pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah anggota Uni Eropa sebagai negara produsen minyak nabati non sawit, menyokong penuh upaya untuk menurunkan daya saing minyak sawit melalui berbagai kampanye negatif, hambatan tarif dan non tarif, serta berbagai bentuk diskriminasi dagang lainnya.

Dalam konteks geopolitik, persaingan dalam pasar minyak nabati dunia adalah persaingan antara negara-negara maju dan Negara Dunia Ketiga (negara berkembang). Karena itu, seyogyanya negara-negara produsen minyak sawit kompak untuk melawan berbagai kampanye negatif dan diskriminasi terhadap minyak sawit.

Sayangnya dalam konteks sawit, Sri Lanka yang selama ini berada dalam satu perahu dengan Indonesia dan Malaysia, memilih mengubah haluan. Adalah  Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka yang baru terpilih pada November 2019, yang mengubah haluan ekonomi Sri Lanka. Alih-alih menemani Indonesia dan Malaysia sebagai pemain minyak sawit dunia, Rajapaksa memaksa menghentikan impor minyak sawit. Bukan hanya itu, Rajapaksa juga memaksa untuk menghentikan izin-izin baru perkebunan kelapa sawit di negara. Dalih isu deforestasi dan kerusakan lingkungan yang disuarakan negara-negara Barat yang menjadi dasar Rajapaksa memaksa menghentikan pengembangan sawit di negaranya. Bahkan, seperti dikutip Bloomberg, Rajapaksa memaksa perkebunan sawit yang sudah ada di Sri Lanka untuk dihancurkan. 

Tidak Berdampak

Apa dampak aksi boikot Sri Lanka ini terhadap industri minyak sawit Indonesia? Mari kita analisis dampak ekonomi dan politik dari kebijakan Rajapaksa ini. 

Dari sisi ekonomi, boikot minyak sawit oleh Sri Lanka ini tidak akan memberikan dampak ekonomi apapun kepada Indonesia. Dari total 200 ribu ton impor minyak sawit Sri Lanka, sekitar 140 ribu ton berasal dari Indonesia. Jika kita hitung dengan harga CPO (crude palm oil) saat ini adalah USD 1.000 per ton, maka nilai devisa ekspor minyak sawit Indonesia ke Sri Lanka adalah USD 140 juta atau hanya 0,6% dari total devisa ekapor minyak sawit Indonesia yang mencapai USD  22,9 miliar pada tahun 2020 lalu. Jadi, paksaan Rajapaksa ini, tidak akan membawa dampak ekonomi apapun terhadap Indonesia. 

Bagi Indonesia, Sri Lanka juga bukan mitra dagang yang strategis. Pada 2020, total perdagangan Indonesia dengan Sri Lanka adalah USD 292,55  juta dan Indonesia mencatat surplus USD 239,3 juta.  Jika melihat total nilai perdagangan internasional Indonesia mencapai USD 304,87 miliar pada tahun 2020, maka nilai perdagangan bilateral Indonesia dengan Sri Lanka hanya kurang dari 1% dari total nilai perdagangan internasional Indonesia.  

Sementara itu dari sisi politik internasional, boikot terhadap produk minyak sawit oleh Sri Lanka bukan sebuah hal yang akan banyak mempengaruhi reputasi sawit di pasar internasional. Apalagi diplomasi sawit di Uni Eropa dan negara-negara anggota EFTA (European Free Trade Area) seperti Swiss berjalan cukup efektif. Bahkan dalam referandum di Swiss, masyarakat Swiss menyetujui jika produk minyak sawit masuk dalam perjanjian IE-CEPA (Indonesia EFTA Comprehensive Economic Partnership). 

Namun demikian, karena sikap politik antisawit dari Rajapaksa ini selaras dengan kebijakan antisawit negara-negara Barat, media-media Barat mem-blow up  langkah Sri Lanka tersebut. Patut disesalkan paksaan Rajapaksa tersebut, tapi ya sudahlah. (*)

Penulis : Suarariau.co
Editor : Suara Riau
Kategori : Kolumnis